saco-indonesia.com, Maharany
Suciyono mengaku diajak berhubungan intim oleh Ahmad Fathanah. Untuk itulah Maharany menerima
uang Rp 10 juta dari orang dekat mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq tersebut.
JAKARTA, Saco-Indonesia.com — Maharany Suciyono mengaku diajak berhubungan intim oleh Ahmad Fathanah. Untuk itulah Maharany menerima uang Rp 10 juta dari orang dekat mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq tersebut.
Mulanya Maharany mengaku tidak tahu untuk keperluan apa Fathanah memberikannya uang Rp 10 juta. "Tidak tahu untuk keperluan apanya, saya dikasih uang Rp 10 juta," ujar Maharany dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (17/5/2013), saat ditanya tim jaksa penuntut umum KPK. Maharany diperiksa sebagai saksi untuk dua direktur PT Indoguna Utama Juard Effendi dan Arya Abdi Effendi.
Tim jaksa KPK kembali mendesak Maharany mengenai alasan pemberian uang itu. Gadis berambut panjang ini pun menjawab kalau uang Rp 10 juta itu diberikan kepadanya sebagai imbalan karena telah menemani Fathanah.
"Untuk menemani Pak Ahmad," ucap Maharany.
Sejenak, tim jaksa KPK terdiam. Ketua Tim Jaksa KPK M Rum kemudian mengonfirmasi berita acara pemeriksaan (BAP) Maharany yang dibuat saat proses penyidikan di KPK.
"Mohon untuk konfirmasi di poin enam BAP, saksi sudah memberikan keterangan di hadapan penyidik. Benarkah diajak berhubungan intim?" tanya Jaksa Rum kepada Maharany.
Atas pertanyaan itu, Maharany pun mengakuinya. Dia mengaku kalau uang Rp 10 juta itu diterimanya setelah diajak Fathanah berhubungan intim.
"Iya," jawabnya singkat.
Maharany ikut ditangkap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi pada 29 Januari 2013 saat tengah bersama Fathanah di Hotel Le Meridien Jakarta. Tim penyidik KPK menemukan uang Rp 10 juta di dompet Maharany.
Uang itu diduga bagian dari uang suap Rp 1 miliar yang diterima Luthfi melalui Fathanah. Menurut Maharany, saat bertemu di Hotel Le Meridien, Fathanah memberikannya uang Rp 10 juta. Maharany mengaku kenal dengan Fathanah sehari sebelum pertemuan di Le Meridien tersebut.
"Saya sedang di salah satu mal di Jakarta, sedang makan siang. Ada Pak Ahmad juga di situ, cuma saya enggak begitu paham," tuturnya.
Editor :Liwon Maulana(galipat)
Sumber:Kompas.com
Mayat pelaku
peledakan bom bunuh diri di Markas Kepolisian Resor Poso telah tiba di Rumah Sakit Bhayangkara
Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Palu, Senin (3/5/2013).
PALU, Saco- Indonesia.com — Mayat pelaku peledakan bom bunuh diri di Markas Kepolisian Resor Poso telah tiba di Rumah Sakit Bhayangkara Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Palu, Senin (3/5/2013).
Jenazah yang belum diketahui identitasnya ini langsung dibawa ke ruang instalasi forensik untuk diotopsi. Jenazah pelaku bom bunuh diri tersebut tiba di RS Bhayangkara Polda Sulteng sekitar pukul 17.20 Wita dengan dikawal aparat Brimob Polda Sulteng bersenjata lengkap.
Sejauh ini belum diketahui kelompok teroris mana yang terlibat dalam aksi peledakan bom bunuh diri tersebut. Menurut Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulteng Ajun Komisaris Besar Soemarno, polisi tidak mau berandai-andai sebelum proses penyelidikan dan hasil otopsi diketahui.
"Proses penyelidikannya masih berjalan. Apakah ini kelompok Santoso atau ada kelompok lain, ya kita tidak mau berspekulasi," kata Soemarno.
Soemarno mengatakan, sebanyak lebih dari 10 saksi dari anggota Kepolisian Resor Poso sudah dimintai keterangan terkait aksi bom bunuh diri tersebut.
Penjagaan pun diperketat pascaledakan bom bunuh diri di Markas Kepolisian Resor Poso.
Editor :Liwon Maulana
Sumber:Kompas.com
WASHINGTON — During a training course on defending against knife attacks, a young Salt Lake City police officer asked a question: “How close can somebody get to me before I’m justified in using deadly force?”
Dennis Tueller, the instructor in that class more than three decades ago, decided to find out. In the fall of 1982, he performed a rudimentary series of tests and concluded that an armed attacker who bolted toward an officer could clear 21 feet in the time it took most officers to draw, aim and fire their weapon.
The next spring, Mr. Tueller published his findings in SWAT magazine and transformed police training in the United States. The “21-foot rule” became dogma. It has been taught in police academies around the country, accepted by courts and cited by officers to justify countless shootings, including recent episodes involving a homeless woodcarver in Seattle and a schizophrenic woman in San Francisco.
Now, amid the largest national debate over policing since the 1991 beating of Rodney King in Los Angeles, a small but vocal set of law enforcement officials are calling for a rethinking of the 21-foot rule and other axioms that have emphasized how to use force, not how to avoid it. Several big-city police departments are already re-examining when officers should chase people or draw their guns and when they should back away, wait or try to defuse the situation