saco-indonesia.com, Di tangan kelompok teroris Ciputat ini lima personil polisi yang telah bertugas di wilayah Polda Metro Jaya
saco-indonesia.com, Di tangan kelompok teroris Ciputat ini lima personil polisi yang telah bertugas di wilayah Polda Metro Jaya telah ditembak, 4 di antaranya tewas, hanya dalam 3 bulan.
Tindakan keji itu telah mereka lakukan lantaran polisi telah dianggap sebagai musuh yang kerap menghalangi ‘misi’ mereka dalam mencari fa’i (dana operasional terorisme) dengan cara merampok. Selain itu juga diduga sebagai bentuk balas dendam atas perlakuan polisi terhadap terduga teroris yang telah ditangkap.
Para teroris tersebut adalah: Nurul Haq, Hendi Albar, Daeng alias Dayat Kacamata, Ozi alias Tomo, Rizal alias Teguh, dan Edi alias Amril. Ke-6 teroris ini telah ditembak mati oleh petugas Densus 88 Mabes Polri dalam baku tembak di Ciputat, Rabu (1/1) dinihari.
Satu pelaku lain berhasil ditangkap hidup-hidup di Banyumas, Jateng, yakni Anton alias Septi. Ia juga merupakan anggota kelompok teroris Mujahidin Indonesia Barat pimpinan Abu Roban yang tewas ditembak oleh pasukan anti terror di Kendal, Jateng pada Mei 2013 lalu. Kelompok ini juga bersinergi dengan kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Santoso di Poso, Sulawesi.
Jaringan Abu Roban telah memiliki andil mendistribusikan dana untuk keperluan aksi teror di Poso. Upaya Fa’i telah ditempuh Abu Roban dengan cara merampok. Aksi perampokan kelompok ini:
• Bank BPR Cililin, Bandung
• Kantor Pos Cibaduyut
• Toko emas di Tambora
• Bank BRI di Panongan, Tangerang. pada Selasa (24/12) lalu.
5 POLISI JADI KORBAN:
o. Aipda Patah Saktiyono, 53. Anggota Polsek Gambir ini ditembak di depan Sekolah Al Fath, Ciputat, Sabtu (27/7). Patah luput dari maut.
o. Aiptu Dwiyatno, 50. Anggota Babinkamtibmas Polsek Cilandak ini tewas ditembak di depan RS Sari Asih, Tangerang Selatan pada Rabu (7/8).
o. Aiptu Kus Hendratno, 44. Anggota Polsek Pondok Aren ini tewas ditembak di Jl. Graha Bintaro, Pondok Aren, Tangsel, pada Jumat (16/8).
o. Bripka Ahmad Maulana, 35. Anggota Polsek Pondok Aren ini tewas ditembak ini di Jl Graha Bintaro, Pondok Aren, pada Jumat (16/8).
o. Bripka Sukardi, 46. Anggota Baharkam Mabes Polri ini tewas ditembak di depan Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, pada Selasa (10/9).
Editor : Dian Sukmawati
Mitos memang sudah melekat sejak lama di bumi Nusantara, salah satunya di Jawa. Mitos yang didefinisikan sebagai cerita prosa rakyat yang telah menceritakan kisah-kisah lama berisi penafsiran tentang alam semesta dan keberadaan makhluk di dalamnya.
Mitos memang sudah melekat sejak lama di bumi Nusantara, salah satunya di Jawa. Mitos yang didefinisikan sebagai cerita prosa rakyat yang telah menceritakan kisah-kisah lama berisi penafsiran tentang alam semesta dan keberadaan makhluk di dalamnya.
Bagi sebagian masyarakat, terutama para penuturnya, Mitos ini dianggap benar-benar terjadi. Misalnya mitos keangkeran dua kabupaten, yakni Kediri dan Bojonegoro di Jawa Timur yang telah menjadi pantangan presiden RI untuk dikunjungi.
Konon, mitos yang berkembang di tengah masyarakat setempat, bila presiden RI berkunjung ke dua daerah itu bakal lengser. Entah karena kebetulan atau tidak, tapi beberapa presiden yang telah berkunjung ke Kediri--sebelum Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)--selalu lengser.
Presiden Soekarno, BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), lengser setelah tak lama berkunjung ke kota tahu itu. Bahkan sepanjang pemerintahannya selama 32 tahun, Soeharto tidak pernah menginjakkan kaki ke Kediri.
Dalam riwayat Babat Kadhiri, konon telah terdapat kutukan pada kerajaan Kediri tatkala terlibat dalam peperangan dengan musuh. Bunyinya, "Jika pasukan Kediri menyerang musuh di daerah lawan lebih dulu akan selalu memenangkan pertempuran, akan tetapi sebaliknya jika musuh langsung menyerang ke pusat kerajaan Kediri lebih dulu maka musuh itu akan selalu berhasil memperoleh kemenangan yang gemilang."
Barangkali karena kutukan itulah konon para presiden RI selalu menghindari untuk singgah ke kota Kediri dalam setiap perjalanan di wilayah Jawa Timur. Ada yang menafsirkan, tatkala presiden berani singgah ke Kediri, maka posisi mereka bakal mudah diserang oleh musuh atau lawan politiknya.
Namun kisah tutur masyarakat setempat telah mengaitkan kutukan itu dengan tempat, misalnya Simpang Lima Gumul di Kediri, yang dipercaya sebagai pusat Kerajaan Kediri. Sementara kisah lain mengaitkan mitos dengan kutukan Sungai Brantas yang telah menjadi tapal batas Kerajaan Kediri, yakni bila ada raja, kini disebut presiden, masuk ke Kediri melewati Sungai Berantas maka akan lengser.
Boleh percaya boleh tidak, tapi Presiden SBY juga pernah mendengar cerita itu, dan untuk menghormatinya memilih melewati jalan melingkat lewat Blitar sebelum ke Kediri menemui korban letusan Gunung Kelud.
"Kemarin saya mau ke Kediri, sms masuk luar biasa, Pak SBY jangan ke kediri nanti anda jatuh," kata Presiden SBY saat membuka Musyawarah Nasional FKPPI, di Caringin Bogor, 29 Oktober 2007.
Kabupaten yang telah memiliki mitos mirip adalah Bojonegoro. Konon, dari enam presiden di Indonesia, hanya Soekarno yang pernah menginjakkan kaki di daerah yang lekat dengan legenda Angling Dharma itu.
"Tidak ada satu presiden yang menginjakkan kakinya di sini. Tidak tahu kenapa," kata Gus Mul, salah seorang tokoh masyarakat di Bojonegoro saat berbincang Senin lalu.
Namun, dari cerita yang dia tahu, ada mitos yang beredar di kalangan masyarakat bahwa jika presiden mampir di Bojonegoro, dia akan turun dari tahta. Sebagai seorang tokoh pemuka agama, Gus Mul telah mengenyampingkan mitos tersebut. "Itu hanya mitos. Kalau mau datang ya datang saja," ujar Gus Mul.
Memang belum banyak fakta mitos ini terjadi di Bojonegoro. Namun agaknya kisah tutur masyarakat setempat memang ada, misalnya orang-orang tua dulu yang menyebut pantang dalam peperangan lebih dulu menyeberangi bengawan sore (sekarang bengawan Solo). Barang siapa yang menyeberang lebih dulu pasti bakal kalah. Kisah ini telah terbukti dalam kisah peperangan hebat di bengawan Solo yang menewaskan Arya Penangsang alias Aryo Jipang, penguasa Kadipaten Jipang.
Arya Penangsang tewas bersama kudanya si Garak Rimang, setelah dikeroyok prajurit Sultan Pajang, Sultan Hadiwijaya alias Maskarebet atau Jaka Tingkir. Dalam cerita buku Babad Tanah Jawi yang disusun oleh W.L. Olthof di Leiden, Belanda pada 1941, untuk membunuh Arya Penangsang yang pemberang itu memang sulit karena kesaktiannya tiada tanding. Namun akhirnya Arya Penangsang mati dicacah pedang dan tombak setelah dia melanggar kutukan, yakni menyerang lebih dulu dengan menyeberang bengawan.