Material yang satu ini terbuat dari campuran semen PC dan pasir atau abu batu. Di pasaran, jenisnya ada 2 macam. Ada yang dibuat
Material yang satu ini terbuat dari campuran semen PC dan pasir atau abu batu. Di pasaran, jenisnya ada 2 macam. Ada yang dibuat dengan cetakan manual (menggunakan tangan) dan ada juga yang menggunakan cetakan mesin. Jika dilihat sepintas, keduanya mirip, baik dari ukuran maupun bentuknya. Dari ukuran, kedua batako ini memiliki panjang 36 - 40 cm, tebal 8 - 10 cm, dan tinggi 18 - 20 cm. Keduanya juga memiliki rongga di bagian tengahnya.
Tetapi, jika diperhatikan dengan detail, mereka memiliki perbedaan. Perbedannya bisa dilihat dari kepadatan permukaan batako. Yang kepadatannya paling rapat itu yang hasil cetakan mesin. Dari kualitas, jelas yang cetakan mesin yang paling baik.
Karena memiliki pori yang rapat, batako cetakan mesin kedap air sehingga sangat kecil kemungkinan terjadinya rembesan air. Jika di paku, yang menggunakan mesin juga memiliki daya cengkram yang lebih kuat. Sedangkan batako yang dibuat dengan menggunakan tangan biasanya lebih rapuh.
Adapun secara umum beberapa kekurangan dan kelebihan dari pada batako adalah sebagai berikut :
Kelebihan Batako Sebagai Bahan Bangunan :
Pembuatan mudah dan ukuran dapat dibuat sama.
Ukurannya besar, sehingga waktu dan ongkos pemasangan juga lebih hemat.
Khusus jenis yang berlubang, dapat berfungsi sebagai isolasi udara.
Apabila pekerjaan rapi, tidak perlu diplester.
Lebih mudah dipotong untuk sambungan tertentu yang membutuhkan potongan.
Sebelum pemakaian tidak perlu direndam air.
Kedap air sehingga sangat kecil kemungkinan terjadinya rembesan air.
Pemasangan lebih cepat.
Kekurangan Batako Sebagai Bahan Bangunan :
Mudah terjadi retak rambut pada dinding.
Mudah dilubangi dan mudah pecah karena terdapat lubang pada bagian sisi dalamnya.
Kurang baik untuk insulasi panas dan suara.
Demikianlah artikel kali ini mengenai Kelebihan dan Kekurangan Batako Sebagai Bahan Bangunan. Semoga artikel ini bermanfaat untuk semuanya.
Saco-Indonesia.com - Penyakit bernama kista ovarium atau biasa disebut dengan kista ini menjadi salah satu sumber ketakutan wanita selain kanker rahim dan kanker payudara.
Saco-Indonesia.com - Penyakit bernama kista ovarium atau biasa disebut dengan kista ini menjadi salah satu sumber ketakutan wanita selain kanker rahim dan kanker payudara.
Seperti dilansir dari magforwomen.com, kista ovarium adalah kantung berisi cairan yang menetap di dalam atau pada permukaan ovarium. Jika folikel di dalam ovarium membesar lebih dari 2 cm maka akan menjadi kista. Sebagian besar kista ovarium tidak berbahaya dan akan menghilang dengan sendirinya. Namun kista ini akan menjadi hal yang parah dan dapat berkembang menjadi sel kanker apabila dipicu dengan pola hidup yang tidak sehat.
Gejala yang terjadi apabila terdapat kista di rahim Anda adalah menstruasi yang tidak teratur, nyeri pinggul, mual, perut membesar, dan nyeri di payudara. Apabila Anda mengalami hal tersebut maka jangan ragu untuk berkonsultasi dengan dokter. Jika kista yang Anda miliki belum terlalu berbahaya maka dapat dihilangkan dengan obat penghilang rasa sakit dan pil KB yang tentu saja telah disarankan dokter. Namun apabila telah parah dan mengganggu aktivitas Anda, maka dapat dioperasi.
Kista yang terlambat untuk dideteksi dapat berkembang menjadi kanker yang berbahaya. Oleh karena itu rajin-rajinlah untuk berkonsultasi dengan dokter dan memeriksakan kesehatan reproduksi Anda.
Editor : Maulana Lee
Sumber : Merdeka.com
WASHINGTON — During a training course on defending against knife attacks, a young Salt Lake City police officer asked a question: “How close can somebody get to me before I’m justified in using deadly force?”
Dennis Tueller, the instructor in that class more than three decades ago, decided to find out. In the fall of 1982, he performed a rudimentary series of tests and concluded that an armed attacker who bolted toward an officer could clear 21 feet in the time it took most officers to draw, aim and fire their weapon.
The next spring, Mr. Tueller published his findings in SWAT magazine and transformed police training in the United States. The “21-foot rule” became dogma. It has been taught in police academies around the country, accepted by courts and cited by officers to justify countless shootings, including recent episodes involving a homeless woodcarver in Seattle and a schizophrenic woman in San Francisco.
Now, amid the largest national debate over policing since the 1991 beating of Rodney King in Los Angeles, a small but vocal set of law enforcement officials are calling for a rethinking of the 21-foot rule and other axioms that have emphasized how to use force, not how to avoid it. Several big-city police departments are already re-examining when officers should chase people or draw their guns and when they should back away, wait or try to defuse the situation