Wanita satu ini tergolong nekat. Seorang bandit tunggal yang telah menjambret tasnya dikejar hingga akhirnya tertangkap polisi d
Wanita satu ini tergolong nekat. Seorang bandit tunggal yang telah menjambret tasnya dikejar hingga akhirnya tertangkap polisi di depan SPBU Jalan Ahmad Yani, Cempaka Putih,Jalkarta Pusat .
“Pelaku tersebut sudah tujuh kali beraksi dan biasa dia selalu berdua kalau beraksi tapi kali ini main tunggal, seminggu lalu ia juga menjambret di Jl Pramuka namun lolos dari sergapan petugas,”tegas Kapolsek Cempaka Putih Kompol Tofiq,SH,MH.
Kini bandit jambret yang sempat diamuk massa telah diamankan ke kantor polisi dan dari tangannya disita tas kulit milik korban, pelaku bersama sepeda motor Honda Supra X digunakan menjambret juga diamankan sebagai barang bukti.
Kanit Reskrim Polsek Cempaka Putih AKP Supriyadi, telah menuturkan kejadian tersebut sekitar pukul 04:30 dinihari, ketika itu korban Astuti yang berusia 24 tahun, warga Jalan Cipinang Muara, Jakarta Timur, mengendarai sepeda motor Yamaha Mio warna putih. Korban tadinya mau ke pasar kue subuh, karena dijambret akhirnya wanita ini gagal belanja.
Korban ketika itu datang dari arah Rawamangun melintas menuju Jl Ahmad Yani, namun wanita berambut sebahu itu tidak menyadari semenjak melintas di Rawasari sudah dibuntuti satu pengendara sepeda motor yang belakangan diketahui bandit jambret. Motor korban semula sempat di dahului kemudian korban kembali mendahului motor pelaku.
Namun begitu mendekati SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum), bandit kelompok Pendongkelan,Jaktim, itu memepet korban hingga wanita itu nyaris terjatuh, tas yang nyantol di depan bawah jok dirampas pelaku
Setelah tas berpindah tangan, wanita tidak tinggal diam malah bandit tunggal yang kabur kearah Cocacolla diuber sambil diteriaki rampok…rampok, hingga mengundang perhatiam massa maupun petugas lagi diploting di Jalan Ahmad Yani.
Tak pelak lagi, polisi dengan mengendarai motor RX King turut menguber bandit tersebut dan pelaku sempat terjatuh setelah menabrak trotoar kemudian dibekuk pengojek. Massa sempat emosi mendaratkan pukulan mengenai wajah hingga darah segar mencrot dari hidung.
Petugas serse yang ikut mengejar berhasil menyelamatkan bandit jalanan itu dari amukan warga. Kini tersangka Risma Kasim, sudah 7 kali menjambret diamankan ke kantor polisi bersama tas dan sepeda motor yang dipakai menjambret.
“Akibat perbuatannya itu ia akan dikenakan pasal 363 KUHP, dengan ancaman pidana 7 tahun penjara,”tegas Supriyadi
AMAL IBADAH LIMPAH RUAH SAAT UMROH RAMADHAN
Bulan suci Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah, rahmat, dan ampunan. Dalam bulan suci Ramadhan, setiap amal kebaikan diberik
Bulan suci Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah, rahmat, dan ampunan. Dalam bulan suci Ramadhan, setiap amal kebaikan diberikan ganjaran berkali lipat. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits berikut ini.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
"Setiap amalan anak Adam akan dilipatgandakan pahalanya, satu kebaikan akan berlipat menjadi 10 kebaikan sampai 700 kali lipat. Allah 'Azza wa Jalla berfirman, ‘Kecuali puasa, sungguh dia bagianku dan Aku sendiri yang akan membalasnya, karena (orang yang berpuasa) dia telah meninggalkan syahwatnyadan makannya karena Aku’. Bagi orang yang berpuasa mendapat dua kegembiraan; gembira ketika berbuka puasa dan gembira ketika berjumpa Tuhannya dengan puasanya. Dan sesungguhnya bau tidak sedap mulutnya lebih wangi di sisi Allah dari pada bau minyak kesturi.” (HR. Bukhari dan Muslim, lafadz milik Muslim)
Setiap amal baik akan diganjar berkali lipat, tak terkecuali melakukan ibadah umrah di Bulan Ramadhan. Melasanakan ibadah umrah di bulan ramadhan memiliki nilai yang luar biasa, yaitu pahalanya sama seperti menunaikan haji bersama Rasulullah Saw.
"Umrah pada bulan Ramadhan menyerupai haji." (HR. Al-Bukhari dan Muslim) dalam riwayat lain, "seperti haji bersamaku." Sebuah kabar gembira untuk mendapatkan pahala haji bersama Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
Oleh sebab itu, tak heran jika umrah ramadhan menjadi favorit kaum muslimin untuk berburu pahala. Sesuai kemampuan yang dimiliki, mereka bisa memilih beragam paket umrah ramadhan yang disediakan tour dan travel. Ada paket umrah ramadhan di awal bulan, tengah bulan, atau akhir bulan. Bahkan, ada paket umrah ramadhan sebulan penuh.
Tidak menjadi masalah jika memilih satu dari sekian paket yang ditawarkan tersebut. Awal bulan, tengah bulan, atau akhir bulan. Sebab Ibnu Abbas mengatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa mendapati bulan Ramadhan di Makkah, lalu berpuasa secara utuh dan melakukan shalat malam pada beberapa malamnya, maka Alah akan mencatat untuknya seratus ribu bulan Ramadhan selain di Makkah. Dia juga akan mencatat satu kebajikan tiap siang hari, dan satu kebajikan tiap malam hari.”
“Allah akan memberi pahala sama dengan pahala memerdekakan seorang budak tiap siang hari, dan seorang budak lagi tiap malam hari, juga dua barang bawaan kuda di jalan Allah tiap siang hari dan dua barang bawaan kuda di jalan Allah tiap malam hari.”
Al-Khuza’iy mengatakan bahwa Ishak dan Ibnu Abi Umar menceritakan kepada kami, “Abdurrahim bin Zaid telah bercerita kepada kami dengan isnad seperti itu.” (Al-Azraqy: 11/23 dan Ibnu Majah: 1041).
Nah, bayangkan jika selama satu bulan penuh pada bulan suci Ramadhan kita berada di tanah suci. Segala amal baik kita mendapatkan ganjaran seolah beramal di Bulan Ramadhan selama seratus ribu bulan dibandingkan beramal pada Bulan Ramadhan di luar tanah suci. Padahal, amal kebaikan di Bulan Ramdhan akan diganjar berkali lipat dibandingkan amal kebaikan di bulan biasa. Subhanallah...
Oleh sebab itu, selama menjalankan ibadah umrah Ramadhan di tanah suci, jangan lupa untuk melakukan amal-amal berikut ini.
Shalat wajib berjamaah
Atha’ menceritakan dari Abdullah bin Zubair RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Satu kali shalat di masjidku ini lebih utama daripada seratus ribu kali shalat di tempat lain, selain Masjidil Haram. Dan satu kali shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada seratus kali shalat di masjidku.” (Al-Fakihy: 11/90).
Itulah pahala shalat yang dilakukan secara individu di Masjidil haram dan Masjid Nabawi. Nah, bagaimana jika melakukan shalat berjamaah di Masjidil Haram?
Ibnu Abbas RA berkata, “Barangsiapa mengerjakan shalat di Masjidil Haram, di sekitar Baitullah yang dihormati, dengan berjamaah, maka Allah akan mencatat untuknya sebanyak dua puluh lima kali seratus ribu kali shalat.”
Lalu seorang tabi’in bertanya kepadanya, “Apakah ini pendapatmu, wahai Ibnu Abbas, ataukah dari Rasulullah SAW?” Dia menjawab, “Oh, bukan pendapatku, melainkan dari Rasulullah SAW.” (Al-Fakihy: 11/92).
Said bin Jubair menceritakan dari Ibnu Abbas RA, sesungguhnya Nabi SAW pernah membaca firman Allah, “Sesungguhnya (apa yang disebutkan) dalam, (surah) ini, benar-benar menjadi peringatan bagi kaum yang menyembah Allah.” (QS. Al-Anbiya’: 106). Lalu beliau bersabda, “Itu adalah shalat lima waktu berjamaah di masjid ini.” (Al-Fakihy: 11/96).
Shalat malam/Tarawih berjamaah
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Barangsiapa yang menunaikan shalat malam di bulan Ramadan dengan keimanan dan mengharap pahala, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah bersabda, "Siapa yang shalat bersama imamnya sehingga selesai, maka dicatat baginya shalat sepanjang malam." (HR. Ahlus Sunan)
Bersedekah
Seperti kita ketahui, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah manusia paling dermawan. Beliau menjadi lebih demawan lagi ketika di bulan Ramadhan. Sampai-sampai digambarkan beliau menjadi lebih pemurah dengan kebaikan daripada angin yang berhembus dengan lembut. Beliau bersabda, "Shadaqah yang paling utama adalah shadaqah pada bulan Ramadhan." (HR. al-Tirmidzi dari Anas)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Siapa yang memberi berbuka orang puasa, baginya pahala seperti pahala orang berpuasa tadi tanpa dikurangi dari pahalanya sedikitpun." (HR. Ahmad, Nasai, dan dishahihkan al-Albani)
Selain ketiga amal tersebut, terdapat amal kebaikan lain yang bisa dijadikan sebagai alat menangguk pahala Ramadhan yang melimpah ruah saat melakukan umrah ramadhan di tanah suci. Mitra haji dan umrah bisa mengikuti di artikel berikutnya. (RA)
Gilbert Haroche, Builder of an Economy Travel Empire, Dies at 87
Mr. Haroche was a founder of Liberty Travel, which grew from a two-man operation to the largest leisure travel operation in the United States.
Ex-C.I.A. Official Rebuts Republican Claims on Benghazi Attack in ‘The Great War of Our Time’
WASHINGTON — The former deputy director of the C.I.A. asserts in a forthcoming book that Republicans, in their eagerness to politicize the killing of the American ambassador to Libya, repeatedly distorted the agency’s analysis of events. But he also argues that the C.I.A. should get out of the business of providing “talking points” for administration officials in national security events that quickly become partisan, as happened after the Benghazi attack in 2012.
The official, Michael J. Morell, dismisses the allegation that the United States military and C.I.A. officers “were ordered to stand down and not come to the rescue of their comrades,” and he says there is “no evidence” to support the charge that “there was a conspiracy between C.I.A. and the White House to spin the Benghazi story in a way that would protect the political interests of the president and Secretary Clinton,” referring to the secretary of state at the time, Hillary Rodham Clinton.
But he also concludes that the White House itself embellished some of the talking points provided by the Central Intelligence Agency and had blocked him from sending an internal study of agency conclusions to Congress.
“I finally did so without asking,” just before leaving government, he writes, and after the White House released internal emails to a committee investigating the State Department’s handling of the issue.
A lengthy congressional investigation remains underway, one that many Republicans hope to use against Mrs. Clinton in the 2016 election cycle.
In parts of the book, “The Great War of Our Time” (Twelve), Mr. Morell praises his C.I.A. colleagues for many successes in stopping terrorist attacks, but he is surprisingly critical of other C.I.A. failings — and those of the National Security Agency.
Soon after Mr. Morell retired in 2013 after 33 years in the agency, President Obama appointed him to a commission reviewing the actions of the National Security Agency after the disclosures of Edward J. Snowden, a former intelligence contractor who released classified documents about the government’s eavesdropping abilities. Mr. Morell writes that he was surprised by what he found.
Advertisement
“You would have thought that of all the government entities on the planet, the one least vulnerable to such grand theft would have been the N.S.A.,” he writes. “But it turned out that the N.S.A. had left itself vulnerable.”
He concludes that most Wall Street firms had better cybersecurity than the N.S.A. had when Mr. Snowden swept information from its systems in 2013. While he said he found himself “chagrined by how well the N.S.A. was doing” compared with the C.I.A. in stepping up its collection of data on intelligence targets, he also sensed that the N.S.A., which specializes in electronic spying, was operating without considering the implications of its methods.
“The N.S.A. had largely been collecting information because it could, not necessarily in all cases because it should,” he says.
Mr. Morell was a career analyst who rose through the ranks of the agency, and he ended up in the No. 2 post. He served as President George W. Bush’s personal intelligence briefer in the first months of his presidency — in those days, he could often be spotted at the Starbucks in Waco, Tex., catching up on his reading — and was with him in the schoolhouse in Florida on the morning of Sept. 11, 2001, when the Bush presidency changed in an instant.
Mr. Morell twice took over as acting C.I.A. director, first when Leon E. Panetta was appointed secretary of defense and then when retired Gen. David H. Petraeus resigned over an extramarital affair with his biographer, a relationship that included his handing her classified notes of his time as America’s best-known military commander.
Mr. Morell says he first learned of the affair from Mr. Petraeus only the night before he resigned, and just as the Benghazi events were turning into a political firestorm. While praising Mr. Petraeus, who had told his deputy “I am very lucky” to run the C.I.A., Mr. Morell writes that “the organization did not feel the same way about him.” The former general “created the impression through the tone of his voice and his body language that he did not want people to disagree with him (which was not true in my own interaction with him),” he says.
But it is his account of the Benghazi attacks — and how the C.I.A. was drawn into the debate over whether the Obama White House deliberately distorted its account of the death of Ambassador J. Christopher Stevens — that is bound to attract attention, at least partly because of its relevance to the coming presidential election. The initial assessments that the C.I.A. gave to the White House said demonstrations had preceded the attack. By the time analysts reversed their opinion, Susan E. Rice, now the national security adviser, had made a series of statements on Sunday talk shows describing the initial assessment. The controversy and other comments Ms. Rice made derailed Mr. Obama’s plan to appoint her as secretary of state.
The experience prompted Mr. Morell to write that the C.I.A. should stay out of the business of preparing talking points — especially on issues that are being seized upon for “political purposes.” He is critical of the State Department for not beefing up security in Libya for its diplomats, as the C.I.A., he said, did for its employees.
But he concludes that the assault in which the ambassador was killed took place “with little or no advance planning” and “was not well organized.” He says the attackers “did not appear to be looking for Americans to harm. They appeared intent on looting and conducting some vandalism,” setting fires that killed Mr. Stevens and a security official, Sean Smith.
Mr. Morell paints a picture of an agency that was struggling, largely unsuccessfully, to understand dynamics in the Middle East and North Africa when the Arab Spring broke out in late 2011 in Tunisia. The agency’s analysts failed to see the forces of revolution coming — and then failed again, he writes, when they told Mr. Obama that the uprisings would undercut Al Qaeda by showing there was a democratic pathway to change.
“There is no good explanation for our not being able to see the pressures growing to dangerous levels across the region,” he writes. The agency had again relied too heavily “on a handful of strong leaders in the countries of concern to help us understand what was going on in the Arab street,” he says, and those leaders themselves were clueless.
Moreover, an agency that has always overvalued secretly gathered intelligence and undervalued “open source” material “was not doing enough to mine the wealth of information available through social media,” he writes. “We thought and told policy makers that this outburst of popular revolt would damage Al Qaeda by undermining the group’s narrative,” he writes.
Instead, weak governments in Egypt, and the absence of governance from Libya to Yemen, were “a boon to Islamic extremists across both the Middle East and North Africa.”
Mr. Morell is gentle about most of the politicians he dealt with — he expresses admiration for both Mr. Bush and Mr. Obama, though he accuses former Vice President Dick Cheney of deliberately implying a connection between Al Qaeda and Iraq that the C.I.A. had concluded probably did not exist. But when it comes to the events leading up to the Bush administration’s decision to go to war in Iraq, he is critical of his own agency.
Mr. Morell concludes that the Bush White House did not have to twist intelligence on Saddam Hussein’s alleged effort to rekindle the country’s work on weapons of mass destruction.
“The view that hard-liners in the Bush administration forced the intelligence community into its position on W.M.D. is just flat wrong,” he writes. “No one pushed. The analysts were already there and they had been there for years, long before Bush came to office.”