Biro Haji dan Umroh November 2015 Hubungi 021-9929-2337 atau 0821-2406-5740 Alhijaz Indowisata adalah perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang tour dan travel. Nama Alhijaz terinspirasi dari istilah dua kota suci bagi umat islam pada zaman nabi Muhammad saw. yaitu Makkah dan Madinah. Dua kota yang penuh berkah sehingga diharapkan menular dalam kinerja perusahaan. Sedangkan Indowisata merupakan akronim dari kata indo yang berarti negara Indonesia dan wisata yang menjadi fokus usaha bisnis kami.
Biro Haji dan Umroh November 2015 Alhijaz Indowisata didirikan oleh Bapak H. Abdullah Djakfar Muksen pada tahun 2010. Merangkak dari kecil namun pasti, alhijaz berkembang pesat dari mulai penjualan tiket maskapai penerbangan domestik dan luar negeri, tour domestik hingga mengembangkan ke layanan jasa umrah dan haji khusus. Tak hanya itu, pada tahun 2011 Alhijaz kembali membuka divisi baru yaitu provider visa umrah yang bekerja sama dengan muassasah arab saudi. Sebagai komitmen legalitas perusahaan dalam melayani pelanggan dan jamaah secara aman dan profesional, saat ini perusahaan telah mengantongi izin resmi dari pemerintah melalui kementrian pariwisata, lalu izin haji khusus dan umrah dari kementrian agama. Selain itu perusahaan juga tergabung dalam komunitas organisasi travel nasional seperti Asita, komunitas penyelenggara umrah dan haji khusus yaitu HIMPUH dan organisasi internasional yaitu IATA.
Pengertian jual Buku Teks
Pengertian jual buku teks pelajaran adalah ”buku acuan wajib” yang digunakan di sekolah
Pengertian jual Buku Teks
Pengertian jual buku teks pelajaran adalah ”buku acuan wajib” yang digunakan di sekolah, memuat materi pembelajaran yang diharapkan mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis. Persoalannya sekarang, kita “dapat menggunakan” di dalam Permen mengindikasikan bahwa Depdiknas tidak tegas dalam ‘memerintahkan’ para guru untuk menyiapkan bahan ajar mereka sendiri, atau setidaknya, memperkaya buku teks yang mereka pakai di kelas dengan buku-buku atau sumber-sumber yang lain.
Oleh karena itu, jika belum mampu mengembangkan bahan ajar sendiri, atau kebijakan sekolah kebetulan mengharuskan guru untuk memberlakukan satu buku teks bagi siswa-siswanya, maka disarankan berikut ini beberapa hal yang patut dipertimbangkan guru atau sekolah terkait bagaimana memilih buku teks, yaitu: (1) harga buku, (2) ketersediaan buku di pasaran, (3) desain dan tata wajah buku, (4) metodologi pembelajaran yang dipakai, (5) keterampilan bahasa, (6) urut-urutan silabus, (7) topik-topik yang dipilih, (8) buku mengandung atau tidak unsur diskriminasi terkait SARA atau jender, dan (9) ketersediaan dan kualitas buku panduan guru (teacher’s guide).
Ada yang mengatakan bahwa “buku teks adalah rekaman pikiran rasial yang disusun buat maksud-maksud dan tujuan-tujuan intruksional” (Hall-Quest, 1915).Ahli yang lain menjelaskan bahwa “buku teks adalah buku standar/buku setiap cabang khusus studi” dan dapat terdiri dari dua tipe yaitu buku pokok/utama dan suplemen/tambahan (Lange, 1940).
Lebih terperinci lagi, ada ahli yang mengemukakan bahwa “buku teks adalah buku yang dirancang buat pengguanaan di kelas, dengan cermat disusun dan disiapkan oleh para pakar atau ahli dalam bidang itu dan diperlengkapi dengan sarana-sarana pengajaran yang sesuai dan serasi” (Bacon, 1935). Dan ahli yang lain lagi mengutarakan bahwa “buku teks adalah sarana belajar yang biasa digunakan di sekolah-sekolah dan diperguruan tinggi untuk menunjang suatu program pengajaran dalam pengertian modern dan yang umum dipahami (Buckingham, 1958 : 1523)”. Dari Telaah Buku Teks, Tarigan & Tarigan, 1986.
Buku teks atau buku pelajaran berisi informasi tentang ilmu pengetahuan atau pelajaran tertentu, mulai dari SD hingga perguruan tinggi. Buku teks ini termasuk dalam golongan nonfiksi. Buku teks sering dipergunakan oleh para ilmuwan untuk meyebarkan hasil penelitian atau penemuan mereka. Buku teks pelajaran merupakan buku yang dipakai untuk memelajari atau mendalami suatu subjek pengetahuan dan ilmu serta teknologi atau suatu bidang studi, sehingga mengandung penyajian asas-asas tentang subjek tersebut, termasuk karya kepanditaan (scholarly, literary) terkait subjek yang bersangkutan.
Jumat, 27 Maret 2009
Definisi Buku Pelajaran
Buku dalam arti luas mencakup semua tulisan dan gambar yang ditulis dan dilukiskan atas segala macam lembaran papyrus, lontar, perkamen dan kertas dengan segala bentuknya: berupa gulungan, di lubangi dan diikat dengan atau dijilid muka belakangnya dengan kulit, kain, karton dan kayu. (Ensiklopedi Indonesia (1980, hlm. 538))
H.G. Andriese dkk menyebutkan buku merupakan “informasi tercetak di atas kertas yang dijilid menjadi satu kesatuan”.
Unesco pada tahun 1964, dalam H.G. Andriese dkk. Memberikan pengertian buku sebagai “Publikasi tercetak, bukan berkala, yang sedikitnya sebanyak 48 halaman”.
Sesuai dengan empat definisi buku di atas, maka buku diartikan sebagai kumpulan kertas tercetak dan terjilid berisi informasi dengan jumlah halaman paling sedikit 48 halaman yang dapat dijadikan salah satu sumber dalam proses belajar dan membelajarkan.
Definisi buku pelajaran atau buku teks pelajaran menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 11 Tahun 2005 : ”Buku pelajaran adalah buku acuan wajib untuk digunakan di sekolah yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis, potensi fisik dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan”.
Menurut Hartiadi Budi Santoso dari Deloitte Tax Solutions, buku pelajaran umum adalah buku-buku pelajaran pokok dan penunjang yang digunakan oleh TK, SD, SMP, SMU, universitas yang mendukung kurikulum sekolah yang bersangkutan.
Pengertian Buku Teks
Pengertian buku teks pelajaran adalah ”buku acuan wajib” yang digunakan di sekolah, memuat materi pembelajaran yang diharapkan mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis, potensi fisik dan k Persoalannya sekarang, kata “dapat menggunakan” di dalam Permen mengindikasikan bahwa Depdiknas tidak tegas dalam ‘memerintahkan’ para guru untuk menyiapkan bahan ajar mereka sendiri, atau setidaknya, memperkaya buku teks yang mereka pakai di kelas dengan buku-buku atau sumber-sumber yang lain.
Oleh karena itu, jika belum mampu mengembangkan bahan ajar sendiri, atau kebijakan sekolah kebetulan mengharuskan guru untuk memberlakukan satu buku teks bagi siswa-siswanya, maka disarankan berikut ini beberapa hal yang patut dipertimbangkan guru atau sekolah terkait bagaimana memilih buku teks, yaitu: (1) harga buku, (2) ketersediaan buku di pasaran, (3) desain dan tata wajah buku, (4) metodologi pembelajaran yang dipakai, (5) keterampilan bahasa, (6) urut-urutan silabus, (7) topik-topik yang dipilih, (8) buku mengandung atau tidak unsur diskriminasi terkait SARA atau jender, dan (9) ketersediaan dan kualitas buku panduan guru (teacher’s guide).
Ada yang mengatakan bahwa “buku teks adalah rekaman pikiran rasial yang disusun buat maksud-maksud dan tujuan-tujuan intruksional” (Hall-Quest, 1915).
Ahli yang lain menjelaskan bahwa “buku teks adalah buku standar/buku setiap cabang khusus studi” dan dapat terdiri dari dua tipe yaitu buku pokok/utama dan suplemen/tambahan (Lange, 1940).
Lebih terperinci lagi, ada ahli yang mengemukakan bahwa “buku teks adalah buku yang dirancang buat pengguanaan di kelas, dengan cermat disusun dan disiapkan oleh para pakar atau ahli dalam bidang itu dan diperlengkapi dengan sarana-sarana pengajaran yang sesuai dan serasi” (Bacon, 1935)
Dan ahli yang lain lagi mengutarakan bahwa “buku teks adalah sarana belajar yang biasa digunakan di sekolah-sekolah dan diperguruan tinggi untuk menunjang suatu program pengajaran dalam pengertian modern dan yang umum dipahami (Buckingham, 1958 : 1523)”. Dari Telaah Buku Teks, Tarigan & Tarigan, 1986.
Buku teks atau buku pelajaran berisi informasi tentang ilmu pengetahuan atau pelajaran tertentu, mulai dari SD hingga perguruan tinggi. Buku teks ini termasuk dalam golongan nonfiksi. Buku teks sering dipergunakan oleh para ilmuwan untuk meyebarkan hasil penelitian atau penemuan mereka.
Buku teks pelajaran merupakan buku yang dipakai untuk memelajari atau mendalami suatu subjek pengetahuan dan ilmu serta teknologi atau suatu bidang studi, sehingga mengandung penyajian asas-asas tentang subjek tersebut, termasuk karya kepanditaan (scholarly, literary) terkait subjek yang bersangkutan.
Buku teks pelajaran adalah buku yang berisi kumpulan lembaran-lembaran kertas yang berisi tulisan sehingga dapat digunakan sebagai acuman pembelajaran materi di sekolah.
M Jamaludin (Pengamat perbukuan dan Direktur Yayasan Buku Cerdas, Jakarta).
Buku pelajaran (textbook) merupakan media pembelajaran yang dominan bahkan sentral dalam sebuah sistem pendidikan. Ia adalah kendaraan utama transfusi materi kurikulum ke hadapan siswa. Karena perannya yang demikian sentral itu maka kemajuan dan kemunduran pendidikan suatu bangsa dapat dilacak dari tinggi-rendahnya mutu buku teks yang dibaca oleh anak didik.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Kathy Chekley (1997), misalnya, menemukan bahwa ketertinggalan siswa Amerika dari siswa Jepang dalam penguasaan matematika dan sains berawal dari buku-buku teks sekolah Amerika yang cenderung a mile wide and an inch deep. Buku-buku teks sekolah Amerika dipenuhi oleh halaman-halaman tanpa makna (meaningless) dan terlalu detail terhadap konsep-konsep kecil, sementara buku-buku teks Jepang menganut prinsip less is more (sedikit itu banyak). Untuk pelajaran fisika-biologi kelas 6, misalnya, buku teks Jepang hanya memuat 6 topik sedangkan Amerika 65 topik. Dihadapkan dengan kenyataan ini Amerika-melalui Project 2061 yang diluncurkan tahun 2001-memberi perhatian besar terhadap penulisan buku-buku teks yang berorientasi pada kedalaman substansi dan proses.
Bagaimana dengan buku-buku teks sekolah di Indonesia? Keadaannya lebih parah. Di samping tingkat kepadatan materi yang tinggi, buku teks sekolah Indonesia menyimpan cacat isi (content) yang mendasar. Sebuah riset yang dilakukan oleh Sri Redjeki (1997), misalnya, menunjukkan bahwa buku-buku pelajaran yang dikonsumsi pelajar Indonesia tertinggal 50 tahun dari perkembangan terbaru sains modern. Hal yang sama terjadi juga pada pelajaran lain termasuk pelajaran agama. Buku pelajaran agama bahkan lebih menyerupai buku teks subjek matematika atau fisika yang sarat dengan rumus dan lebih mementingkan peran akal ketimbang rumusan moralitas dalam proses dan praktik.
Ini terlihat secara kasatmata karena pelajaran agama dinilai dengan satuan angka. Untuk memperoleh nilai bagus dalam pelajaran agama, seorang anak bahkan harus menghafal sedemikian banyak soal bahkan dalam bentuk multiple choice. Bisa dibayangkan, buku teks agama kita sangat tidak menarik karena anak dikejar-kejar dengan nilai, bukan proses penanaman etika dalam proses belajar keseharian.
Memang banyak muncul buku teks terbitan terbaru, apalagi dengan kebijakan e-book baru-baru ini, akan tetapi isinya tidak fokus dan sering kali merupakan pengulangan-pengulangan. Yang terjadi sesungguhnya adalah sebuah siklus daur ulang materi-materi lama dengan referensi lama pula-untuk tidak mengatakan kadaluwarsa-sehingga perkembangan pengetahuan siswa pada dasarnya jalan di tempat. Dengan kondisi ini, harapan agar siswa bisa mengantisipasi masa depan menjadi slogan belaka. Bagaimana mungkin mengharapkan mereka mampu mengantisipasi masa depan jika pelajaran-pelajaran yang disodorkan justru tidak responsif terhadap perkembangan yang sedang terjadi?
Dalam studi Dedi Supriadi (Anatomi Buku Sekolah di Indonesia, 2000) terungkap bahwa buku pelajaran (textbook) merupakan satu-satunya buku rujukan yang dibaca oleh siswa, bahkan juga oleh sebagian besar guru. Hal ini setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama, ketergantungan siswa dan guru yang begitu besar terhadap kelemahan mendasar dunia pendidikan nasional, tetapi pada sisi lain menginspirasikan treatment strategis bagi pengembangannya. Fenomena ini sesungguhnya menyodorkan satu hal urgen, buku paket bisa menjadi katalisator (baca jalan pintas) peningkatan mutu pendidikan Indonesia yang sedang terpuruk.
Ada beberapa alasan mengapa buku paket menjadi alternatif strategis-akseleratif pembangunan kembali dunia pendidikan Indonesia yang sudah bangkrut. Pertama, kualitas guru yang sebagian besar tidak memadai. Sudah menjadi pengakuan umum bahwa rendahnya kualitas guru Indonesia-karena beberapa sebab yang memang tidak kondusif bagi mereka untuk berkembang dan profesional dalam bidangnya-adalah salah satu titik lemah pendidikan nasional.
Rendahnya mutu guru salah satunya disebabkan oleh masih adanya angka guru mismatch dan underqualified yang relatif tinggi. Beberapa usaha telah dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme guru seperti in-service training, sertifikasi, atau bahkan program pascasarjana. Tetapi usaha semacam ini, di samping sulit menjamin kualitas hasilnya, juga membutuhkan biaya besar dan waktu lama.
Di tengah kondisi yang demikian, perlu dicari altematif yang paling mungkin untuk menolong siswa dalam jangka pendek, dan tanpa membutuhkan waktu terlalu lama. Dalam hal ini, kehadiran buku pelajaran berkualitas yang dirancang dengan asumsi bisa dipahami dengan baik tanpa guru sekalipun dan, tentunya relevan terhadap temuan terbaru menjadi sangat mendesak.
Kedua, seperti yang diungkap di atas, buku paket merupakan satu-satunya buku rujukan yang dapat diakses (baca dibaca) oleh hampir seluruh siswa, bahkan juga oleh sebagian besar guru. Tragis sekali bila satu-satunya sumber belajar yang bisa diakses siswa ini tidak ditangani secara serius. Di samping itu, seperti yang ditunjukkan oleh laporan International Education Achievement tahun 1999, minat baca siswa di sekolah-sekolah Indonesia menempati nomor dua terakhir dari 39 negara yang disurvei. Tentunya, keadaannya akan semakin parah bila minat baca siswa yang minim tersebut diperburuk oleh rendahnya kualitas buku pegangan yang menjadi satu-satunya buku bacaan mereka. Mereka bisa jadi kehilangan minat terhadap buku.
Kelemahan buku-buku teks yang banyak beredar setidaknya mencakup lima hal, yaitu isi, bahasa, desain grafis, metodologi penulisan, dan strategi indexing. Seperti disinggung di atas, masalah isi mengandung dua cacat pokok, yakni terlalu banyak dan kadaluwarsa dan karena itu menyesatkan, sebab sudah tidak sesuai dengan penemuan-penemuan mutakhir. Hal ini setidaknya juga bisa dilihat dari referensi lama yang dipergunakan. Pengakuan para penyusun buku seperti diungkap Supriadi patut mendapat catatan Para penyusun bukannya menulis buku baru dengan referensi yang baru pula, melainkan menata ulang, mengemas kembali, atau merakit kembali materi-materi yang telah ada dalam buku-buku sebelumnya. Maka yang terjadi sebenarnya adalah reproduksi ulang kesalahan-kesalahan sebelumnya dengan kemasan baru.
Dari segi bahasa dan ilustrasi, kelemahan menonjol buku-buku teks adalah penggunaan bahasa dan ilustrasi yang tidak komunikatif sehingga tidak berhasil menyampaikan pesan inti buku. Dari segi metodologi penulisan, dapat dilihat dari tidak adanya nuansa yang bisa menggugah kesadaran afektif-emosional siswa, terutama dalam buku-buku sosial, moral, dan keagamaan. Pendekatan yang dipakai terlalu materialistik, kering, dan membosankan sehingga gagal menyampaikan pesan isi (content provision) sebuah buku.
Dari aspek strategi kemudahan untuk membaca, indexing hampir tak pernah ada dalam buku-buku teks sekolah anak-anak kita. Tidak seperti buku-buku teks semisal di Singapura dan Amerika yang kaya dengan indeks. Buku-buku teks kita miskin inisiatif bahkan untuk sebagian buku teks di perguruan tinggi. Dalam beberapa studi disebutkan, ketersediaan indeks dalam buku teks akan menaikkan tingkat analitis dan daya kritis anak terhadap setiap persoalan. Karena, dengan indeks seorang anak akan belajar bagaimana melihat kebutuhan pokok bahasan yang sesuai dengan minat dan keinginannya tanpa perlu waktu lama dalam memperolehnya.
Kelima masalah di atas bisa jadi berawal dari honor yang diterima oleh para penulis sangat kecil dan kadang tidak manusiawi. Bagaimana tidak, walau pun anggaran yang dialokasikan untuk buku sangat besar, yang diterima oleh penulis justru sangat tidak wajar. Menurut Rencana Proyek Pengembangan Buku dan Minat Baca, Dirjen Dikdasmen, misalnya, alokasi dana pengembangan buku tidak kurang dari US$350 juta. Dengan kurs rata-rata RplO.OOO per dolar, jumlah itu sama dengan Rp3,5 triliun lebih! idealnya, dengan dana yang demikian besar, pemerintah seharusnya bisa membangun semacam Kamp Konsentrasi Penulisan Buku Paket dengan membayar penulis-penulis andal dengan satu tema besar, Melahirkan buku-buku teks berkualitas bagi pembangunan masa depan bangsa.
Bila kita sepakat bahwa yang paling berkepentingan dalam pendidikan adalah siswa, dan,bahwa setiap usaha peningkatan mutu pendidikan bertujuan untuk memaksimalkan kemampuan siswa, sudah saatnya usaha yang diprioritaskan adalah yang paling mungkin dirasakan langsung oleh setiap siswa. Tidak bisa dimungkiri, buku paket merupakan salah satu-kalau tidak satu-satunya-media belajar yang bisa dipegang, dirasakan, bahkan menjadi teman tidur siswa-yang kebetulan sebagian besar miskin dan tak berdaya itu- di pojok-pojok kamar mereka. Merupakan kekeliruan fatal bila kemudian teman setia-nya tersebut tidak mampu mengantarnya ke gerbang pengetahuan dan masa depan yang lebih baik.
Karena perannya yang demikian sentral itu maka kemajuan dan kemunduran pendidikan suatu bangsa dapat dilacak dari tinggi-rendahnya mutu buku teks yang dibaca oleh anak didik. Sebuah studi yang dilakukan oleh Kathy Chekley (1997), misalnya, menemukan bahwa ketertinggalan siswa Amerika dari siswa Jepang dalam penguasaan matematika dan sains berawal dari buku-buku teks sekolah Amerika yang cenderung a mile wide and an inch deep. Buku pelajaran agama bahkan lebih menyerupai buku teks subjek matematika atau fisika yang sarat dengan rumus dan lebih mementingkan peran akal ketimbang rumusan moralitas dalam proses dan praktik.
Nilai strategis Dalam studi Dedi Supriadi (Anatomi Buku Sekolah di Indonesia, 2000) terungkap bahwa buku pelajaran (textbook) merupakan satu- satunya buku rujukan yang dibaca oleh siswa, bahkan juga oleh sebagian besar guru. Kedua, seperti yang diungkap di atas, buku paket merupakan satu-satunya buku rujukan yang dapat diakses (baca dibaca) oleh hampir seluruh siswa, bahkan juga oleh sebagian besar guru. Tentunya, keadaannya akan semakin parah bila minat baca siswa yang minim tersebut diperburuk oleh rendahnya kualitas buku pegangan yang menjadi satu-satunya buku bacaan mereka. Pengakuan para penyusun buku seperti diungkap Supriadi patut mendapat catatan Para penyusun bukannya menulis buku baru dengan referensi yang baru pula, melainkan menata ulang, mengemas kembali, atau merakit kembali materi-materi yang telah ada dalam buku-buku sebelumnya. Bila kita sepakat bahwa yang paling berkepentingan dalam pendidikan adalah siswa, dan,bahwa setiap usaha peningkatan mutu pendidikan bertujuan untuk memaksimalkan kemampuan siswa, sudah saatnya usaha yang diprioritaskan adalah yang paling mungkin dirasakan langsung oleh setiap siswa.
BAKU TEMBAK TELAH KEMBALI TERJADI DI POSO
saco-indonesia.com, Telah terjadi baku tembak di Poso, Sulawesi Tengah. Namun belum dapat diketahui identitas antar kelompok man
saco-indonesia.com, Telah terjadi baku tembak di Poso, Sulawesi Tengah. Namun belum dapat diketahui identitas antar kelompok mana yang telah melakukan kontak senjata tersebut.
Kepala Bidang Humas Polda Sulawesi Tengah AKBP Soemarno juga telah membenarkan adanya peristiwa tersebut. Namun pihaknya juga belum memastikan secara pasti tentang adanya insiden itu.
"Iya benar, informasinya memang seperti itu. Ada baku tembak di Poso," kata Soemarno saat dihubungi wartawan, Rabu (6/2).
Menurut informasi yang telah dihimpun, baku tembak tersebut telah terjadi hari ini di Desa Padalembara, Poso.
Namun belum dapat diketahui secara pasti apakah penembakan tersebut telah melibatkan warga biasa ataupun militer.
Soemarno juga belum bisa memastikan apakah baku tembak itu terkait dengan jaringan teroris yang disinyalir masih bersembunyi di Poso.
"Iya ini masih kita lakukan pengecekan," ujarnya singkat.
Editor : Dian Sukmawati
G.O.P. Hopefuls Now Aiming to Woo the Middle Class
WASHINGTON — The last three men to win the Republican nomination have been the prosperous son of a president (George W. Bush), a senator who could not recall how many homes his family owned (John McCain of Arizona; it was seven) and a private equity executive worth an estimated $200 million (Mitt Romney).
The candidates hoping to be the party’s nominee in 2016 are trying to create a very different set of associations. On Sunday, Ben Carson, a retired neurosurgeon, joined the presidential field.
Senator Marco Rubio of Florida praises his parents, a bartender and a Kmart stock clerk, as he urges audiences not to forget “the workers in our hotel kitchens, the landscaping crews in our neighborhoods, the late-night janitorial staff that clean our offices.”
Gov. Scott Walker of Wisconsin, a preacher’s son, posts on Twitter about his ham-and-cheese sandwiches and boasts of his coupon-clipping frugality. His $1 Kohl’s sweater has become a campaign celebrity in its own right.
Senator Rand Paul of Kentucky laments the existence of “two Americas,” borrowing the Rev. Dr. Martin Luther King Jr.’s phrase to describe economically and racially troubled communities like Ferguson, Mo., and Detroit.
“Some say, ‘But Democrats care more about the poor,’ ” Mr. Paul likes to say. “If that’s true, why is black unemployment still twice white unemployment? Why has household income declined by $3,500 over the past six years?”
We are in the midst of the Empathy Primary — the rhetorical battleground shaping the Republican presidential field of 2016.
Harmed by the perception that they favor the wealthy at the expense of middle-of-the-road Americans, the party’s contenders are each trying their hardest to get across what the elder George Bush once inelegantly told recession-battered voters in 1992: “Message: I care.”
Their ability to do so — less bluntly, more sincerely — could prove decisive in an election year when power, privilege and family connections will loom large for both parties.
Advertisement
Questions of understanding and compassion cost Republicans in the last election. Mr. Romney, who memorably dismissed the “47 percent” of Americans as freeloaders, lost to President Obama by 63 percentage points among voters who cast their ballots for the candidate who “cares about people like me,” according to exit polls.
And a Pew poll from February showed that people still believe Republicans are indifferent to working Americans: 54 percent said the Republican Party does not care about the middle class.
That taint of callousness explains why Senator Ted Cruz of Texas declared last week that Republicans “are and should be the party of the 47 percent” — and why another son of a president, Jeb Bush, has made economic opportunity the centerpiece of his message.
With his pedigree and considerable wealth — since he left the Florida governor’s office almost a decade ago he has earned millions of dollars sitting on corporate boards and advising banks — Mr. Bush probably has the most complicated task making the argument to voters that he understands their concerns.
On a visit last week to Puerto Rico, Mr. Bush sounded every bit the populist, railing against “elites” who have stifled economic growth and innovation. In the kind of economy he envisions leading, he said: “We wouldn’t have the middle being squeezed. People in poverty would have a chance to rise up. And the social strains that exist — because the haves and have-nots is the big debate in our country today — would subside.”
Republicans’ emphasis on poorer and working-class Americans now represents a shift from the party’s longstanding focus on business owners and “job creators” as the drivers of economic opportunity.
This is intentional, Republican operatives said.
In the last presidential election, Republicans rushed to defend business owners against what they saw as hostility by Democrats to successful, wealthy entrepreneurs.
“Part of what you had was a reaction to the Democrats’ dehumanization of business owners: ‘Oh, you think you started your plumbing company? No you didn’t,’ ” said Grover Norquist, the conservative activist and president of Americans for Tax Reform.
But now, Mr. Norquist said, Republicans should move past that. “Focus on the people in the room who know someone who couldn’t get a job, or a promotion, or a raise because taxes are too high or regulations eat up companies’ time,” he said. “The rich guy can take care of himself.”
Democrats argue that the public will ultimately see through such an approach because Republican positions like opposing a minimum-wage increase and giving private banks a larger role in student loans would hurt working Americans.
“If Republican candidates are just repeating the same tired policies, I’m not sure that smiling while saying it is going to be enough,” said Guy Cecil, a Democratic strategist who is joining a “super PAC” working on behalf of Hillary Rodham Clinton.
Republicans have already attacked Mrs. Clinton over the wealth and power she and her husband have accumulated, caricaturing her as an out-of-touch multimillionaire who earns hundreds of thousands of dollars per speech and has not driven a car since 1996.
Mr. Walker hit this theme recently on Fox News, pointing to Mrs. Clinton’s lucrative book deals and her multiple residences. “This is not someone who is connected with everyday Americans,” he said. His own net worth, according to The Milwaukee Journal Sentinel, is less than a half-million dollars; Mr. Walker also owes tens of thousands of dollars on his credit cards.
But showing off a cheap sweater or boasting of a bootstraps family background not only helps draw a contrast with Mrs. Clinton’s latter-day affluence, it is also an implicit argument against Mr. Bush.
Mr. Walker, who featured a 1998 Saturn with more than 100,000 miles on the odometer in a 2010 campaign ad during his first run for governor, likes to talk about flipping burgers at McDonald’s as a young person. His mother, he has said, grew up on a farm with no indoor plumbing until she was in high school.
Mr. Rubio, among the least wealthy members of the Senate, with an estimated net worth of around a half-million dollars, uses his working-class upbringing as evidence of the “exceptionalism” of America, “where even the son of a bartender and a maid can have the same dreams and the same future as those who come from power and privilege.”
Mr. Cruz alludes to his family’s dysfunction — his parents, he says, were heavy drinkers — and recounts his father’s tale of fleeing Cuba with $100 sewn into his underwear.
Gov. Chris Christie of New Jersey notes that his father paid his way through college working nights at an ice cream plant.
But sometimes the attempts at projecting authenticity can seem forced. Mr. Christie recently found himself on the defensive after telling a New Hampshire audience, “I don’t consider myself a wealthy man.” Tax returns showed that he and his wife, a longtime Wall Street executive, earned nearly $700,000 in 2013.
The story of success against the odds is a political classic, even if it is one the Republican Party has not been able to tell for a long time. Ronald Reagan liked to say that while he had not been born on the wrong side of the tracks, he could always hear the whistle. Richard Nixon was fond of reminding voters how he was born in a house his father had built.
“Probably the idea that is most attractive to an average voter, and an idea that both Republicans and Democrats try to craft into their messages, is this idea that you can rise from nothing,” said Charles C. W. Cooke, a writer for National Review.
There is a certain delight Republicans take in turning that message to their advantage now.
“That’s what Obama did with Hillary,” Mr. Cooke said. “He acknowledged it openly: ‘This is ridiculous. Look at me, this one-term senator with dark skin and all of America’s unsolved racial problems, running against the wife of the last Democratic president.”
Dave Goldberg, Head of Web Survey Company and Half of a Silicon Valley Power Couple, Dies at 47
By VINDU GOEL and QUENTIN HARDY
Mr. Goldberg was a serial Silicon Valley entrepreneur and venture capitalist who was married to Sheryl Sandberg, the chief operating officer of Facebook.